Zakat Dalam Pelaporan SPT Pajak Penghasilan

Tanggal 31 Maret merupakan batas akhir pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh). Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sejak Januari telah membuka layanan SPT bagi para Wajib Pajak (WP) orang pribadi dan WP badan usaha setelah tahun pajak berakhir. Para Wajib Pajak kebanyakan melaporkan SPT mendekati batas akhir, sehingga Maret identik dengan bulan setoran SPT.

Dalam regulasi pajak penghasilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan peraturan teknis PPh, terdapat dua klausul penetapan yang terkait dengan pembayaran zakat, yaitu:

Pertama, bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak, dikecualikan dari objek pajak. Pengecualianzakat sebagai objek pajak terdapat di dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Kedua, zakat yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi atau badan yang dimiliki oleh orang Islam menjadi faktor pengurang penghasilan bruto. Ketentuan ini terdapat di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat Atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Boleh Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto.

Sebagaimana diatur dalam perundang-undangan bahwa perlakuan zakat sebagai pengurang penghasilan bruto harus memenuhi persyaratan, yaitu:

Pertama, pembayar zakat adalah wajib pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam.

Kedua, zakat tersebut harus dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah.

Ketiga, zakat yang dibayar adalah zakat yang berkenaan dengan penghasilan yang menjadi objek pajak.

Keempat, pembayar zakat harus melaporkan zakat penghasilan yang dibayarnya ke dalam laporan pajak penghasilan akhir tahun yakni dalam SPT Tahunan PPh.

Mekanisme dan tata cara pengurangan zakat dari penghasilan bruto tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pembebanan Zakat Atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto, dan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 6 Tahun 2011. Sesuai ketentuan, wajib pajak yang melakukan pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib, harus melampirkan fotokopi bukti pembayaran pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan. Bukti pembayaran yang dilampirkan dapat berupa bukti pembayaran secara langsung atau melalui transfer rekening bank, atau pembayaran melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM), dan paling sedikit memuat: (1)  nama lengkap Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembayar; (2) jumlah pembayaran; (3) tanggal pembayaran; (4) nama badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan (5) tanda tangan petugas badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah di bukti pembayaran apabila pembayaran secara langsung; atau (6) validasi petugas bank pada bukti pembayaran apabila pembayaran melalui transfer rekening bank.

Modernisasi dan inovasi pelayanan pajak yang semakin canggih di negara kita, memungkinkan para Wajib Pajak dapat melaporkan SPT melalui aplikasi e-Filingdrop-box atau datang ke Kantor Pelayanan Pajak terdekat secara langsung.

Sejak beberapa tahun lalu Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-33/PJ/2011 yang berlaku sejak 11 November 2011, menetapkan 20 badan/lembaga penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib dan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Badan/Lembaga tersebut meliputi satu Badan Amil Zakat Nasional, 18 Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan satu Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia. yaitu: Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), LAZ Dompet Dhuafa Republika, LAZ Yayasan Amanah Takaful, LAZ Pos Keadilan Peduli Umat, LAZ Yayasan Baitulmaal Muamalat, LAZ Yayasan Dana Sosial Al Falah, LAZ Baitul Maal Hidayatullah, LAZ Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, LAZ Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia, LAZ Yayasan Baitul Maal wat Tamwil, LAZ Baituzzakah Pertamina, LAZ Persatuan Islam, LAZ Yayasan Baitul Mal Umat Islam PT Bank Negara Indonesia, LAZ Yayasan Bangun Sejahtera Mitra Umat, LAZ Dompet Peduli Umat Daarut Tauhid (DUDT), LAZ Yayasan Rumah Zakat Indonesia, LAZIS Muhammadiyah, LAZIS Nahdlatul Ulama, LAZIS Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (LAZIS IPHI), serta Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia (LEMSAKTI).

Sesuai perkembangan terbaru Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-33/PJ/2011 yang menetapkan lembaga penerima zakat yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah sudah seharusnya disesuaikan dengan penetapan kelembagaan BAZNAS dan LAZ, seperti tercantum di dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor 118 Tahun 2014 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat Nasional Provinsi, Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor 568 Tahun 2014 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat Nasional Kabupaten/Kota Se Indonesia, serta pertambahan jumlah lembaga zakat yang mendapat izin operasional dari Kementerian Agama sebagai Lembaga Amil Zakat (LAZ) berskala nasional, berskala provinsi dan berskala kabupaten/kota.

Bagi setiap muslim yang taat kepada akidah dan menjalankan syariat Islam dan sebagai warga negara yang patuh pada hukum, zakat dan pajak merupakan kewajiban yang harus ditunaikan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Oleh karena itu, penerimaan zakat dan pajak mengingat peran dan fungsinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sumber dana pembangunan bangsa harus dikelola dan digunakan secara transparan dan amanah sesuai peruntukannya.

Negara sejauh ini baru bisa memberi insentif berupa pembayaran zakat sebagai pengurang penghasilan bruto atas penghasilan kena pajak. Pembayaran zakat sampai saat ini belum menjadi pengurang pajak penghasilan seperti yang berlaku di beberapa negara lain. Kaidah ushul fikih menyatakan ”Maala yudraku kulluhu laa yutraku kuluhu”, artinya apa-apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya.

Wallahu a’lam bisshawab

Oleh M. Fuad Nasar

Wakil Sekretaris BAZNAS