Kembalilah Ke Khittah Negara Kesejahteraan

Hari ini tujuh puluh tahun yang lalu, tepatnya 1 Juni 1945, Ir. Soekarno sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mendapat giliran mengucapkan pidato tentang landasan dasar falsafah Undang-Undang Dasar (philosofische grondslag). Sebelum pidato Bung Karno tentang dasar negara, tokoh senior dari unsur Islam dalam keanggotaan BPUPKI dan Ketua Muhammadiyah yaitu Ki Bagus Hadikusumo menyampaikan pidato dalam sidang bersejarah itu, mengupas pandangan Islam tentang hidup bernegara. Maka tidak heran dalam pidatonya Soekarno, sepuluh kali menyebut nama Ki Bagus.

Dalam buku Pertumbuhan Histroris Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi (1970), Prawoto Mangkusasmito menulis; Pancasila sebagai dasar negara untuk pertama kali mendapatkan rumusnya yang lengkap pada tanggal 22 Juni 1945 dalam satu dokumen yang disusun dan ditanda-tangani oleh sebuah panitia terdiri dari 9 orang anggota Badan Penyelidik. Rumus Pancasila yang pertama ini kemudian terkenal dengan nama “Piagam Jakarta” atau “Jakarta Charter”. Prof. Mr. Muhammad Yamin dalam Proklamasi dan Konstitusi (1951) menegaskan “Piagam Jakarta itulah yang melahirkan Proklamasi dan Konstitusi.”

Menjelang rapat pengesahan UUD pada 18 Agustus 1945 jiwa besar dan toleransi yang luar biasa ditunjukkan oleh para eksponen pemimpin Islam waktu itu (Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Teuku M. Hasan). Mengikuti saran Bung Hatta, mereka bersedia menghapus kalimat, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dari rancangan Mukaddimah UUD. Kalimat itu diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” (konotasinya tauhid, surat Al Ikhlas dalam Al Quran). Perubahan itu dimaksudkan agar golongan Protestan dan Katolik jangan memisahkan diri dari Republik Indonesia.

Dengan demikian, dasar negara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 yang disahkan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 menorehkan pengorbanan dan hadiah terbesar umat Islam untuk persatuan dan kemerdekaan Indonesia. Tanggal 18 Agustus 1945 belakangan ditetapkan sebagai Hari Konstitusi berdasar Keputusan Presiden No 18 Tahun 2008.
Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud membicarakan lebih luas seputar lahirnya dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Tetapi satu persoalan yang ingin dikemukakan, ialah sejauh mana konsistensi bangsa Indonesia dan para pemimpinnya menjalankan khittah negara kesejahteraan.

Pidato Bung Karno tentang dasar negara tanggal 1 Juni 1945 secara gamblang menyebut: “Prinsip nomor 4 sekarang saya usulkan, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela ataukah yang semua rakyatnya sejahtera…?”

Dalam konteks negara kesejahteraan sesuai Pancasila, negara bertanggungjawab terhadap fakir miskin dan tidak boleh membiarkan tumbuhnya kesenjangan sosial di masyarakat. Prinsip itu dibakukan sebagai sila kelima Pancasila, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Para pendiri negara, seperti Bung Hatta, menekankan pentingnya “demokrasi ekonomi”, di samping “demokrasi politik”. Demokrasi ekonomi memiliki keterkaitan dengan kesejahteraan sosial.

Pernyataan Proklamator Kemerdekaan/Wakil Presiden RI Pertama Dr. H. Mohammad Hatta dalam pidato penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia tanggal 30 Agustus 1975 patut direnungkan kembali. Kata Bung Hatta, ”Kita patut merasa sedih, bahwa suatu hal yang sangat penting dalam kewajiban melaksanakan keadilan sosial, bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, sampai sekarang masih sedikit sekali yang terlaksanakan oleh negara. Juga pasal 33 tentang kesejahteraan sosial yang dikemukakan dalam perjuangan kemerdekaan….., masih banyak yang terkatung-katung.”

Dalam tulisan tentang Ilmu dan Agama (1980), Bung Hatta mengemukakan, “Kita bandingkan negara kita dengan negara Barat, mereka tidak mempunyai Pancasila, tapi mereka melaksanakan apa yang dinamakan keadilan sosial itu. Di negara Barat, kalau ada orang sudah berumur 65 tahun sekalipun ia petani, pegawai, bankir, atau apa saja, dia diberi pensiun oleh negara, sebab bagaimana pun dia dianggap berjasa bagi masyarakat. Kita membiarkan orang terlantar, tidak bisa hidup secara baik. Inilah cara kita menjalankan agama kita. Hendaknya ini dijalankan secara baik.”

Ketika menguraikan Pengertian Pancasila (1981) Bung Hatta mengingatkan, “Orang lupa, bahwa kelima sila itu berangkaian, tidak berdiri sendiri-sendiri. Di bawah bimbingan sila yang pertama, sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kelima sila itu ikat-mengikat. Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing, melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, persaudaraan dan lainnya. Negara dengan itu memperkokoh fundamennya.”

Kewajiban negara mewujudkan kesejahteraan harus ditopang oleh sistem jaminan sosial. Saat ini banyak orang yang tidak paham bahwa lembaga negara harus dikelola seperti lembaga nonprofit. Pengurangan dan pencabutan subsidi APBN menyangkut hajat hidup orang yang mengakibatkan bertambah beratnya beban hidup rakyat dianggap sebagai kewajaran. Monopoli penguasaan kawasan yang didominasi perumahan, pusat bisnis dan apartemen mewah dengan menyingkirkan masyarakat kelas bawah ke daerah pinggiran, sebagaimana disoroti Wakil Presiden Jusuf Kalla saat membuka Pekan Raya Jakarta 2015, kian menambah kesenjangan sosial.

Dari perspektif ideologi kebangsaan, negara harus hadir untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat di berbagai bidang. Sebuah analisis menyimpulkan mata-rantai kemiskinan takkan pernah bisa diputus jika akar persoalan seperti akses pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya bagi keluarga tidak mampu belum bisa dijangkau oleh setiap penduduk dan warga negara. Untuk itu penerimaan pajak harus selalu menjadi sektor andalan keuangan negara, tapi bukan pajak yang membebani rakyat kecil. Jika pengelolaan negara terdistorsi dengan paradigma profit, maka misi negara untuk melayani rakyat tidak akan pernah berhasil.

Politik perekonomian yang diamanatkan founding fathers negara pada tahun 1945 antara lain menggariskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh sebab itu, liberalisasi ekonomi dipandang sebagai inkonsistensi dari prinsip dasar kenegaraan kita.

Ketua MPR-RI Zulkifli Hasan dalam Lokakarya Nasional Pengelolaan Wakaf dan Aset-Aset Masjid tanggal 25 Mei 2015 di Jakarta mensinyalir tingginya kesenjangan ekonomi antara masyarakat kaya dan miskin dewasa ini. Kekayaan Indonesia yang melimpah, 40 persennya ternyata hanya dikuasai oleh 23 orang saja. Betapa tidak adilnya kondisi ini hingga memicu kesenjangan yang kian menganga dan jurang antara si kaya dan si miskin. Demikian Zulkifli Hasan.

Dalam rangka kembali ke khittah negara kesejahteraan, peran dan kontribusi umat Islam melalui ekonomi syariah, zakat dan wakaf perlu dioptimalkan. Umat Islam yang mayoritas dari segi jumlah perlu melakukan gerakan kolektif untuk mempertahankan peran di bidang ekonomi agar tidak semakin terpinggirkan di tengah persaingan ekonomi dan kapital asing.

Umat Islam harus memiliki kesadaran membayar zakat melalui lembaga resmi seperti BAZNAS. Zakat adalah kekuatan umat yang terpendam. Seiring dengan itu diperlukan awareness lembaga zakat untuk menjamin ketersediaan dana zakat bagi orang-orang yang berhak menerimanya. Fungsi zakat sebagai jaminan sosial dan sumber pembiayaan ekonomi perlu terus dikembangkan untuk kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.

Wallahu a’lam bisshawab.

Oleh M. Fuad Nasar
Wakil Sekretaris BAZNAS