Zakat Fitrah dan Berbagi Kebahagiaan di HAri Raya Idul Fitri
Saat ini kita sudah sampai di penghujung Ramadhan dan hari-hari terakhir ibadah puasa tahun 1436 H. Dalam hadis yang shahih dianjurkan supaya kaum muslimin meningkatkan amal ibadah dengan menggiatkan qiyamulail, tadarus Al Quran, iktikaf di masjid, dan lain-lain. Nilai pahala beribadah pada Lailatul Qadr melebihi pahala ibadah selama seribu bulan. Selain itu dianjurkan memohon ampunan dosa kepada Allah SWT dan memperbanyak sedekah.
Sebelum Hari Raya Idul Fitri tanggal 1 Syawal, ajaran Islam mewajibkan setiap muslim menunaikan zakat fitrah. Di dalam hadits riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al Hakim dari Ibnu Abbas, dijelaskan: ”Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah untuk membersihkan orang yang berpuasa dari noda-noda perkataan dan perbuatan yang salah, dan untuk memberi makan kepada fakir miskin. Siapa yang membayarkannya sebelum mengerjakan shalat hari raya, maka ia menjadi zakat yang diterima. Tetapi siapa yang membayarkannya sesudah shalat hari raya, maka ia hanyalah merupakan sedekah biasa.”
Salah seorang ulama dan tokoh Islam Indonesia almarhum Prof. H. Zainal Abidin Ahmad dalam tulisan Zakat Fitrah Mengamalkan Rahim Sosial (1975) menyimpulkan beberapa pokok hukum dari hadis tentang zakat fitrah, ialah:
Pertama, membayarkan zakat fitrah adalah wajib hukumnya. Hadis itu memakai perkataan “fardhu” yang umumnya diartikan wajibnya lebih berat daripada kewajiban biasa.
Kedua, membayarkannya haruslah di dalam waktu bulan Ramadhan, sebelum datang Hari Raya Idul Fitri. Jika dibayarkan sesudah datang Hari Raya Idul Fitri, tegasnya sesudah melakukan sembahyang hari raya, maka tidak lagi bernama membayarkan kewajiban zakat fitrah, tetapi berubah sifatnya menjadi sedekah yang biasa.
Ketiga, banyaknya zakat yang dikeluarkan itu ialah satu gantang, yaitu 4 cupak makanan atau lebih kurang 3,5 liter atau 2,5 kilogram.
Keempat, zakat yang dikeluarkan ialah bahan makanan: kurma, gandum, beras, jagung atau lainnya. Karena maksudnya adalah untuk makanan fakir miskin, maka pembayaran zakat fitrah dapat diganti uang sebagai nilai dari bahan makanan itu. Setiap daerah mempunyai harganya sendiri.
Kelima, kewajiban membayarkan zakat fitrah berlaku atas setiap jiwa yang hidup, dari orangtua hingga bayi wajib dikeluarkan zakat fitrahnya.
Zakat fitrah, sebagaimana dikemukakan K.H. Ahmad Azhar Basyir MA dalam Hukum Zakat (1997), diberikan kepada fakir miskin di tempat pemungutannya dan jika terdapat kelebihan boleh dipindahkan ke tempat lain.
Hikmah yang terkandung dari zakat fitrah itu lebih besar daripada nilai zakat yang dikeluarkan. Dalam menghadapi kegembiraan hari raya, seorang muslim harus mengingat nasib fakir miskin. Zakat fitrah merealisasikan ajaran Islam yang menganjurkan kepada umatnya agar saling mencintai dan saling mengasihi. Umat Islam harus menjadi kekuatan pelopor dalam menegakkan prinsip keadilan sosial yang merata untuk segala lapisan masyarakat. Seluruh warga dunia merindukan keadilan sosial, tetapi sedikit negara yang berhasil mewujudkannya di abad ke-21 ini.
Hadits Rasulullah menganjurkan, jika kamu hendak membagi zakat fitrah atau zakat harta kepada fakir miskin, kenanglah lebih dahulu fakir miskin dalam keluarga terdekat. Ibadah puasa bulan Ramadhan mendorong keadilan sosial yang ditumbuhkan melalui latihan dan pendidikan, di antaranya puasa dan zakat.
Kesadaran umat Islam untuk berzakat dan berinfak pada bulan Ramadhan baik zakat fitrah maupun zakat mal cukup tinggi di negara kita. Dalam kondisi makro ekonomi yang stabil, zakat dapat menurunkan tingkat keparahan kemiskinan. Dengan perolehan zakat, infak dan sedekah di setiap lembaga zakat yang meningkat pada bulan Ramadhan berarti terjadi peningkatan akumulasi potensi dana yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah kemiskinan.
Sebagai ingin menutup esei ini dengan khazanah tulisan almarhum Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam Khutbah Idul Fitri di halaman Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta, beberapa puluh tahun yang lampau, sebagai berikut:
“Ingatlah misalnya kita penduduk baru dari kota Metropolitan Jakarta ini. Bukankah kebanyakan adalah orang yang berasal dari daerah lalu berurbanisasi ke Jakarta? Ketika permulaan Penyerahan Kedaulatan. Kadang-kadang satu keluarga empat atau lima orang bersaudara sekandung satu ibu satu bapak datang kemari. Kadang-kadang kita datang dari satu kampung halaman, satu tepian tempat mandi, bahkan satu rumah ayah bunda tempat kita dibesarkan. Sesampai di Jakarta kita mencoba untung nasib masing-masing. Ada yang mujur, terlompat naik ke gedung besar, ke mobil mengkilat. Tetapi ada yang dilempar oleh nasib ke tepi jalan raya, ke kaki lima, ke pondok di lorong becek tidur di sana, bertanak di sana dan makan minum di sana.
Maka didoronglah yang kaya oleh imannya kepada Tuhan untuk mengenangkan kembali saudaranya yang dahulu, dua puluh lima tahun yang lalu sama- sama datang dari kampung dalam keadaan sama polos, sekarang sudah berbeda nasib. Sebab itu sejak semula tersadarlah hatinya hendak menolong saudaranya itu. Maka timbullah tertawa tetapi tergenang air mata dari kedua belah pihak, tertawa mensyukuri hari raya, tergenang air mata mengenang nasib. Jangan yang kaya terlalu kaya sampai lupa kepada yang miskin, yang miskin terlalu miskin sampai benci dan dendam kepada yang kaya.” Demikian Buya Hamka menuliskan dengan kalimat sastra yang mengesankan seputar berbagi kebahagiaan di hari Idul Fitri dalam potret kehidupan masyarakat urban Ibukota.
Selamat menyambut Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1436 H. Hari kemenangan, hari raya kesucian, hari yang senantiasa mengingatkan setiap manusia harus berbuat suci kepada sesamanya.
Sesungguhnya Engkau Ya Allah, Maha Pemaaf dan suka memaafkan, maafkanlah kesalahan kami.
Oleh
Fuad Nasar
Wakil Sekretaris BAZNAS