Mengelola Resiko pada Lembaga Zakat

Beberapa waktu lalu di harian ini, tepatnya di edisi 22 September 2014, penulis telah mengungkap perihal manajemen resiko pengelolaan zakat yang perlu dikembangkan oleh BAZNAS. Berdasarkan hasil pertemuan tiga kali working group penyusunan “Zakat Core Principles (ZCP)”, resiko-resiko terkait dengan pengelolaan zakat yang telah teridentifikasi antara lain adalah resiko reputasi dan kehilangan muzakki, resiko penyaluran, resiko operasional dan resiko transfer zakat antar negara. Resiko-resiko tersebut perlu dikelola karena dapat memengaruhi kinerja lembaga pengelola zakat dan kepercayaan publik.

Secara sederhana, resiko dapat diartikan sebagai keadaan yang dapat menciptakan peluang terjadinya suatu ancaman yang dapat menimbulkan dampak negatif berupa kehilangan sesuatu yang berharga, seperti reputasi dan kepercayaan. Menurut Godfrey (1996), jika merujuk pada analisis atas probabilitas terjadinya resiko dan dampak yang ditimbulkan dari resiko tersebut, maka ada empat kemungkinan tingkat penerimaan resiko, yaitu: unacceptable (resiko yang tidak dapat diterima atau ditoleransi), undesirable (resiko yang sebaiknya dihindari), acceptable (resiko yang dapat diterima namun perlu dikelola), dan negligible (resiko yang dapat diabaikan karena tidak memiliki pengaruh signifikan).

Dengan keempat tingkat penerimaan resiko tersebut, maka lembaga zakat perlu melakukan identifikasi terkait dengan resiko apa saja yang mungkin muncul dalam aktivitas pengelolaan zakat, bagaimana dampaknya, dan bagaimana memitigasi resiko tersebut melalui tindakan dan langkah yang tepat dan efektif. Selama ini, manajemen resiko belum terlalu dikenal di dunia pengelolaan zakat. Padahal, ada banyak dampak negatif yang bisa ditimbulkan ketika terjadi suatu peristiwa yang sebenarnya bisa diantisipasi sebelumnya melalui penerapan manajemen resiko yang baik.

Sebagai contoh, dalam penyaluran zakat untuk program beasiswa, maka diantara resiko yang dapat terjadi adalah resiko keterlambatan proses pencairan dana beasiswa ke rekening mustahik. Padahal keterlambatan ini berpotensi menciptakan masalah, yaitu dikeluarkannya mustahik tersebut dari sekolah/ kampus tempatnya belajar. Jika ini terjadi, maka hal tersebut berpotensi merusak nama baik lembaga zakat.

Untuk itu, diperlukan adanya tindakan mitigasi yang tepat. Misalnya, dengan cara menghubungi otoritas sekolah/kampus tempat belajar mustahik yang bersangkutan. Jika ini yang dilakukan, maka perlu diatur siapa petugas amil yang bertanggung jawab untuk menghubungi pihak sekolah/kampus dan menyampaikan informasi keterlambatan pencairan ini.

Contoh yang lain adalah resiko dari sisi penghimpunan zakat. Misalnya, resiko kurangnya informasi pengelolaan zakat yang dilakukan lembaga kepada para muzakki, padahal mereka telah berzakat secara rutin kepada lembaga. Implikasi yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya tingkat kepercayaan muzakki kepada lembaga. Untuk itu, perlu dilakukan tindakan mitigasi yang tepat. Misalnya, dengan menyegerakan laporan rutin pengelolaan zakat kepada muzakki secara langsung dengan disertai ucapan permohonan maaf atas keterlambatan penyampaian informasi ini. Hal tersebut harus dimasukkan ke dalam standar prosedur operasional lembaga.

Dengan dua contoh di atas, maka mengembangkan kajian mengenai manajemen resiko dalam pengelolaan zakat menjadi hal yang sangat penting. Dalam konteks inilah, Triyani, Beik dan Baga (2015) mencoba mengidentifikasi resiko-resiko yang mungkin terjadi pada pengelolaan zakat. Dari hasil kajian yang ada, ternyata ada 60 jenis resiko yang perlu dikelola dengan baik oleh organisasi pengelola zakat, baik BAZNAS maupun LAZ. Resiko-resiko tersebut terdiri atas 16 resiko pada aspek penghimpunan zakat, 26 resiko pada aspek pengelolaan zakat, dan 18 resiko pada penyaluran dan pendistribusian zakat. Tugas BAZNAS selanjutnya adalah melakukan formulasi manajemen resiko ini melalui perumusan Peraturan BAZNAS agar setiap lembaga, termasuk BAZNAS daerah dan LAZ, dapat mengembangkan manajemen resiko ini dengan baik, sehingga peluang terjadinya hal-hal negatif yang dapat menghambat pembangunan zakat nasional dapat diminimalisir.

Wallaahu a’lam

Irfan Syauqi Beik

Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB