KONSEP ZAKAT SAHAM PERUSAHAAN NON-SYARIAH
Dipersyaratkannya harta milik sebagai syarat wajib zakat membuat kekayaan yang diperoleh dengan cara yang tidak baik dan haram tidak termasuk ke dalam wajib zakat.
Misalnya kekayaan yang diperoleh dari perampasan, pencurian, penipuan, penyogokan, riba, spekulasi, dan lain-lainnya yang diperoleh dengan jalan yang mengambil kekayaan orang lain dengan cara yang tidak benar.
Pendapat Imam Ibnu Nujaim yang menerangkan tidak wajibnya membayar zakat atas harta haram sekalipun sudah sampai satu nisab, sebagai berikut:
“Seandainya ada seseorang yang memiliki harta haram seukuran nisab, maka ia tidak wajib berzakat. Karena yang menjadi kewajiban atas orang tersebut adalah membebaskan tanggungjawabnya atas harta haram itu dengan mengembalikan kepada pemiliknya atau para ahli waris – jika bisa diketahui – , atau disedekahkan kepada fakir miskin secara keseluruhan – harta haram tersebut – dan tidak boleh sebagian saja”.
Pendapat Imam Al-Qurthubi menjelaskan alasan tidak diterimanya zakat atas harta haram sebagai berikut :
“Sedekah/zakat dari harta haram itu tidak diterima dengan alasan karena harta haram tersebut pada hakekatnya bukan hak miliknya. Dengan demikian, pemilik harta haram dilarang mentasharrufkan harta tersebut dalam bentuk apapun, sementara bersedekah adalah bagian dari tasharruf (penggunaan) harta. Seandainya sedekah dari harta haram itu dianggap sah, maka seolah-olah ada satu perkara yang di dalamnya berkumpul antara perintah dan larangan, dan itu menjadi mustahil”.
MUI melalui fatwa nomor 13 tahun 2011 tentang hukum zakat atas harta haram menjelaskan :
- Zakat wajib ditunaikan dari harta yang halal, baik hartanya maupun cara perolehannya.
- Harta haram tidak menjadi objek wajib zakat.
- Kewajiban bagi pemilik harta haram adalah bertaubat dan membebaskan tanggung jawab dirinya dari harta haram tersebut.
- Cara bertaubat sebagaimana dimaksud angka 3 adalah sebagai berikut:
- Meminta ampun kepada Allah, menyesali perbuatannya, dan ada keinginan kuat (‘azam) untuk tidak mengulangi perbuatannya;
- Bagi harta yang haram karena didapat dengan cara mengambil sesuatu yang bukan haknya seperti mencuri dan korupsi maka harta tersebut harus dikembalikan seutuhnya kepada pemiliknya. Namun, jika pemiliknya tidak ditemukan, maka digunakan untuk kemaslahatan umum; dan
- Bila harta tersebut adalah hasil usaha yang tidak halal – seperti perdagangan minuman keras dan bunga bank – maka hasil usaha tersebut (bukan pokok modal) secara keseluruhan harus digunakan untuk kemaslahatan umum.
Pada dasarnya berinvestasi pada saham adalah dibolehkan, sedangkan yang dilarang adalah berinvestasi pada perusahaan yang bertentangan dengan prinsip- prinsip syariah. Fatwa DSN-MUI nomor 40 menjelaskan Jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, antara lain:
- Perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang;
- Lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;
- Produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram;
- Produsen, distributor, dan/atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.
- Melakukan investasi pada Emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya; dan
- Lantas apakah saham pada perusahaan yang tidak memenuhi prinsip syariah dibebaskan dari kewajiban zakat?
Bila dianalogikan dengan zakat obligasi, obligasi dikenakan zakat meskipun menghasilkan keuntungan dalam bentuk bunga yang hukumnya haram.
Haramnya bunga tidak bisa dijadikan alasan untuk membebaskan pemilik obligasi dari kewajiban membayar zakat, karena mengerjakan perbuatan terlarang tidak bisa memberikan kepada yang mengerjakannnya keistimewaan. Oleh karena itu, para ulama fikih sepakat mewajibkan zakat atas perhiasan yang digunakan oleh laki-laki.
Zakat diwajibkan atas nilai pokok obligasinya, sedangkan atas bunga yang diterima harus disedekahkan untuk kepentingan umum.
Zakat Saham pada perusahaan yang bertentangan dengan prinsip syariah juga dapat dianalogikan hukumnya dengan zakat obligasi diatas, dimana letak keharaman hartanya bukan pada sahamnya tapi pada jenis usaha perusahaannya. Oleh karena itu, zakat tetap diwajibkan atas nilai saham, tapi bukan pada keuntungan perusahaan, karena keuntungan yang diperoleh hukumnya haram.