Sudah Waktunya Zakat Masuk APBN
SURABAYA--Potensi zakat di Indonesia yang sedemikian besar, mencapai puluhan triliun per tahun hingga kini belum termanfaatkan secara maksimal dan produktif. Tumbuhnya lembaga-lembaga pengelola zakat produktif belakangan ini memang patut disyukuri, namun potensi zakat yang tergarap masih jauh dari harapan.
Ini karena legalitas lembaga itu dikelola swasta sehingga kurang memiliki posisi tawar tinggi di mata umat. ''Karena itu jika kita semua sudah sepakat mengentas kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pengelolaan zakat harus produktif. Zakat akan lebih produktif bila dikumpulkan dan ditangani pemerintah,'' cetus Prof Dr H Syechul Hadi Permono SH, Guru Besar Hukum Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya kepada Republika, Rabu (10/3).
Konsekuensi pengelolaan oleh negara ini, kata Syechul, zakat harus menjadi bagian administrasi keuangan negara dan masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). ''Saya pernah mengusulkan konsep pengelolaan zakat oleh negara itu ketika zaman Presiden Soeharto dan disetujui. Namun konsep itu belum sempat diterapkan, Pak Harto lengser,'' ungkapnya.
Dalam konsep itu, lanjut dia, lembaga zakat dibentuk oleh pemerintah dan pegawainya (amilnya--red) juga diangkat oleh pemerintah (pegawai negeri sipil/PNS). Dengan sistem kelembagaan zakat seperti itu, posisi tawar ke masyarakat lebih tinggi. Sebab, ada aturan yang jelas dan juga sanksi tegas bagi pegawai yang menyeleweng.
''Jadi zakat dikelola sebagaimana pajak. Amil diangkat oleh pemerintah dan digaji sebagai pegawai keuangan. Itu sebabnya, saat itu kami juga mengusulkan ada Departemen Zakat dan Wakaf, atau paling tidak setingkat Dirjen masuk dalam jajaran departemen keuangan,'' papar pakar Hukum Islam ini.
Syechul memberi contoh pengelolaan zakat di Kuwait. Zakat produktif dikumpulkan oleh negara. Lalu, zakat yang terkumpul diinvestasikan dalam satu perusahaan. Fakir miskin setelah dilatih dan diberi keterampilan sesuai bidangnya, kemudian direkrut perusahaan tersebut. ''Ini agar pendapatan atau penghasilannya cukup. Setelah perusahaan berkembang, harus go-public dan sebagian sahamnya dimiliki karyawan. dengan demikian karyawan mendapat deviden, dan dari deviden itu dikeluarkan zakat. Sehingga fakir miskin menjadi cukup dan akhirnya bisa meningkat jadi muzakki,'' jelasnya.
Ini karena legalitas lembaga itu dikelola swasta sehingga kurang memiliki posisi tawar tinggi di mata umat. ''Karena itu jika kita semua sudah sepakat mengentas kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pengelolaan zakat harus produktif. Zakat akan lebih produktif bila dikumpulkan dan ditangani pemerintah,'' cetus Prof Dr H Syechul Hadi Permono SH, Guru Besar Hukum Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya kepada Republika, Rabu (10/3).
Konsekuensi pengelolaan oleh negara ini, kata Syechul, zakat harus menjadi bagian administrasi keuangan negara dan masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). ''Saya pernah mengusulkan konsep pengelolaan zakat oleh negara itu ketika zaman Presiden Soeharto dan disetujui. Namun konsep itu belum sempat diterapkan, Pak Harto lengser,'' ungkapnya.
Dalam konsep itu, lanjut dia, lembaga zakat dibentuk oleh pemerintah dan pegawainya (amilnya--red) juga diangkat oleh pemerintah (pegawai negeri sipil/PNS). Dengan sistem kelembagaan zakat seperti itu, posisi tawar ke masyarakat lebih tinggi. Sebab, ada aturan yang jelas dan juga sanksi tegas bagi pegawai yang menyeleweng.
''Jadi zakat dikelola sebagaimana pajak. Amil diangkat oleh pemerintah dan digaji sebagai pegawai keuangan. Itu sebabnya, saat itu kami juga mengusulkan ada Departemen Zakat dan Wakaf, atau paling tidak setingkat Dirjen masuk dalam jajaran departemen keuangan,'' papar pakar Hukum Islam ini.
Syechul memberi contoh pengelolaan zakat di Kuwait. Zakat produktif dikumpulkan oleh negara. Lalu, zakat yang terkumpul diinvestasikan dalam satu perusahaan. Fakir miskin setelah dilatih dan diberi keterampilan sesuai bidangnya, kemudian direkrut perusahaan tersebut. ''Ini agar pendapatan atau penghasilannya cukup. Setelah perusahaan berkembang, harus go-public dan sebagian sahamnya dimiliki karyawan. dengan demikian karyawan mendapat deviden, dan dari deviden itu dikeluarkan zakat. Sehingga fakir miskin menjadi cukup dan akhirnya bisa meningkat jadi muzakki,'' jelasnya.