MENDULANG PAHALA
MENDULANG PAHALA PASCA RAMADHAN
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Ramadhan memang telah lewat. Namun, ini tidak berarti menyurutkan semangat kita dalam beribadah. Masih banyak tambang pahala di luar Ramadhan…
Ramadhan berlalu sudah, meninggalkan sepenggal duka di hati insan beriman karena harus berpisah dengan bulan yang penuh keberkahan dan kebaikan. Terbayang saat-saat yang sarat ibadah; puasa, tarawih, tadarus al-Qur’an, dzikir, istighfar, sedekah, memberi makan orang yang berbuka… Rumah-rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala dipenuhi jama’ah, majelis-majelis dzikir dan ilmu, dipadati hadirin. Mengingat semua itu, tersimpan satu asa: andai setiap bulan dalam setahun adalah Ramadhan. Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan segala sesuatu dengan hikmah-Nya. Yang tersisa hanyalah satu tanya: adakah umur akan sampai di tahun mendatang untuk bersua kembali dengan Ramadhan?
Ya. Ramadhan memang telah meninggalkan kita. Namun, bukan berarti pupus harapan untuk meraih kebaikan demi kebaikan, karena buan-bulan ynag datang setelah Ramadhan pun memberi peluang kepada kita untuk mendulang pahala. Demikianlah seharusnya kehidupan seorang muslim. Ia habiskan umur demi umurnya, waktu demi waktunya di dunia, untuk mengumpulkan bekal agar berolah kebahagiaan dan keberuntungan di negeri akhirat kelak.
Datangnya Syawwal setelah Ramadhan
Hari pertama bulan syawwal ditandai dengan gema takbir, tahlil dan tahmid dari lisan-lisan kaum muslimin, menandakan tibanya hari Idul Fithri. Berpagi-pagi kaum muslimin munuju ke tanah lapang untuk mengerjakan shalat Idul Fithri sebagai tanda syukur kepada Rabb yang telah memberikan benyak kenikmatan, termasuk nikmat adanya hari Idul Fithri. Tidak ketinggalan kaum wanita muslimah, turut keluar ke tanah lapang. Dan keluarga wanita ini termasuk perkara yang disyariatkan dalam agama Islam sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam
Hafshah bintu Sirin, seorang wanita yang alim dari kalangan tabi’in rahimahullah berkata yang artinya:
”Kami dahulu melarang gadis-gadis kamii untuk keluar (ke mushalla/ tanah lapang) pada hari ’Idii. Datanglah seorang wanita, ia singgah/ tinggal di bangunan bani Khalaf. Maka aku mendatanginya. Ia kisahkan kepadanya bahwa suami dari saudaranya perempuaniii (iparnya) pernah ikut berperang bersama Nabi Shallallahu ’alaihi wassalam sebanyak 12 kali dan saudanya perempuannya itu menyertai suaminya dalam peperangan. Saudara perempuannya itu mengatakan: ’(Ketika ikut serta dalam peperangan), kami (para wanita) mengurusi orang-orang yang sakit dan mengobati orang-orang yang laku (dari kalangan mujahidin).’ Saudara perempuannua itu juga mengatakan ketika mereka diperintah untuk ikut keluar ke mushalla ketika ’Id: ’Wahai Rasulullah, apakah berdosa salah seorang dari kami bila ia tidak keluar ke mushalla (pada hari ’Id) karena tidak memiliki jilbab?’ Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab: ’Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya kepadanya, agar mereka (para wanita) dapat menyaksikan kebaikan dan doanya kaum mukminin.’
Hafshah berkata: ”Ketika Ummu ’Athiyyah Radliallahu ’anha datang (ke daerah kami), aku mendatanginya untuk bertanya: ’Apakah engkau pernah mendengar tentang ini dan itu?’ Ummu ’Athiyyah berkata: ’Iya, ayahku menjadi tebusannya.’ –Dan setiap kaliUmmu ’Athiyyah menyebutkan Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam, ia berkata: ’Ayahku menjadi tebusannya.’ Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: ’Hendaklah gadis-gadis perawan yang dipingit…’ Atau beliau berkata: ’Hendaklah gadis-gadis perawan dan wanita-wanita yang dipingit… –Ayyub, perawi hadits ini ragu- (ikut keluar ke mushalla ’Id). Demikian pula wanita-wanita yang sedang haid. Namun, hendaklah mereka memisahkan diri dari tempat shalat, agar mereka dapat menyaksikan kebaikan dan doa kaum mukminin.’ Waniti itu berkata: Aku bertanya dengan heran: ’Apakah wanita haid juga diperintahkan keluar?’ Ummu ’Athiyyah menjawab: ’Iya, Bukanlah wanita haid juga hadir di Arafah, turut menyaksikan ini dan ituiv?” (HR. Al-Bukhari no. 324, 980 dan Muslim no. 2051)
Ditekankannya perkara keluarnya wanita ke mushalla ’Id ini tampak pada perintah Rasulullah Shallallhu ’alaihi wasallam agar wanita yang tidak punya jilbab tetap keluar menuju mushalla dengan dipinjami jilbab wanita yang lain. Beliau Shallallahu ’alaihi wasallam sama sekali tidak memberikan udzur ketiadaan jilbab tersebut untuk membolehkan si wanita tidak keluar ke mushalla.
Di masa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dahulu, para shahabiyyah menjalankan sabda Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam di atas sehingga mereka dijumpai ikut keluar ke mushalla ’id. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam pun menaruh perhatian atas kehadiran mereka dengan memberikan nasihat khusus kepada mereka di tempat mereka tatkala beliau pandang khutbah ’Id yang beliau sampaikan tidak terdengar oleh mereka. Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits berikut: Ibnu Abbas radliallahu ’anhuma berkata yang artinya:
”Aku bersaksi behwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mengerjakan shalat ’Id sebelum khutbah, kemudian beliau berkhutbah. Baliau memandang bahwa khutbah yang beliau sampaikan tidak terdengar oleh kaum wanita. Maka beliau pun mendatangi tempat para wanita, lalu memperingatkan mereka, menasihati dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. Sementara Bilal membentangkan pakaiannya untuk mengumpulkan sedekah para wanita tersebut. Mulailah wanita yang hadir di tempat tersebut melemparkan cincinnya, anting-antingnya dan perhiasan lainnya (sebagai sedekah).” (HR. Al-Bukhari no. 1449 dan Muslim no. 2042)
Kepada para wanita yang hadir tersebut Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam menasihatkan yang artinya:
”Bersedekahlah kalian, karena mayoritas kalian adalah kayu bakar Jahannam.” Salah seorang wanita yang hadir di tengah-tengah para wanita, ynag kedua pipinya kehitam-hitaman, berdiri lau berkata: ”Kenapa kami mayoritas kayu bakar Jahannam, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: ”Karena kalian itu banyak mengeluh dan mengingkari kebaikan suami.” (HR. Muslim no. 2045)
Puasa Sunnah di Bulan Syawwal
Selain kegembiraan di hari awal bulan Syawwal dengan datangnya Idul Fithri, ada keutamaan yang dijanjikan bagi setiap insan beriman di bulan yang datang setelah Ramadhan ini, yaitu disunnahkannya ibadah puasa selama enam hari. Sebenarnya, ulama berbeda pendapat tentang sunnah atau tidaknya puasa ini. Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad, Dawud, dan orang-orang yang sepakat dengan mereka berpendapat sunnah. Sedangkan Al-Imam Malik dan Abu Hanifah memakruhkannya. Al-Imam Malik berkata dalam Al-Muwaththa’: ”Aku tidak melihat seorang pun dari ahlul ilmi yang mengerjakan puasa ini.” Mereka mengatakan: Puasa dimakruhkan agar tidak disangka puasa ini termasuk kewajiban (karena dekatnya dengan Ramadhan).
Namun, pendapat yang rajih/ kuat adalah pendapat yang mengatakan sunnahnya puasa enam hari di bulan Syawwal, karena adanya hadits shahih lagi sharih/ jelas dari Rasulullah Shallallahu ’alahi wasalam. Shahabat yang mulia Abu Ayyub al-Anshari Radliallahu ’Anhu menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda yang artinya:
”Siapa yang puasa Ramadhan, kemudian ia mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka puasanya itu sepertinya puasa setahun.” (HR. Muslim no. 2750)
Tentunya keberadaan hadits yang shahih tidak boleh ditinggakan karena mengikuti pendapat sebagina atau mayoritas orang, bahkan pendapat semua orang sekalipun. (Al-Minhaj, 8/297)
Udzur paling bagus yang diberikan kepada Al-Imam Malik rahimahullah dengan pendapat beliau ynag memakruhkan puasa enam hari di bulan Syawwal adalah udzur ynag dinyatakan oleh Abu ’Umar Ibnu ’Abdil Baar rahimahullah: ”Hadits ini tidak sampai kepada Al-Imam Malik. Seandainya sampai kepada beliai, niscaya beliau aka berpendapat sebagaimana hadits tersebut.” (Taudhihul Ahkam, 3/534)
Ulama kita menafsirkan hadits di atas dengan menyatakan kebaikan itu dilipatgandakan pahalanya menjadi sepuluh kali. Sehingga Ramadhan yang dikerjakan selama sebulan dilipatgandakan senilai sepuluh bulan. Sementara puasa enam hari bila dilipatgandakan sepuluh berarti memiliki memiliki nilai enam puluh hari yang berarti sama dengan dua bulan. Sehingga bila seseorang menyempurnakan puasa Ramadhan ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, jadilah nilai puasanya sama dengan setahun penuh (12 bulan). Tercapailah pahala ibadah setahun dengan tidak memberikan kepayahan dan kesulitan, sebagai keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dari nikmat-Nya atas hamba-hamba-Nya. (Al-Hawil Kabir, 3/475, Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibu ’Utsaimin, 3/413, taudhihul Ahkam, 3/534)
Adapun pelaksanaan puasa enam hari di bulan Syawwal ini bisa dilakukan di awwal atau di akhir bulan, secara berurutan atau dipisah-pisah, karena haditsnya menyeutkan secara mutlak tanpa pembatasan waktu. (Al-Mughni, kitab Ash-Shiyam, mas’alah wa man Shama Syahra Ramadhan, wa Athba’ahu bi Sittin min Syawwal)
Bulan Dzulhijjah yang datang setelah Syawwal dan Dzulqa’dah adalah bulan yang juga memiliki keutamaan untuk memperbanyak amal shalih di dalamnya. Terutama di sepuluh hari yang awal, karena Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam telah bersabda yang artinya:
”Tidak ada hari di mana amal shalih pada saat itu lebih dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada hari-hari yang sepuluh ini.” Mereka berkata: ”Wahai Rasulullah, tidak pula jihad fi sabilillah?” Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam menjawab: ”Tidak pula jihad fi sabilillah, kecuali seseorang keluar berjihad membawa jiwa dan hartanya, kemudian tidak ada sesuatupun yang kembali darinya (ia kehilangan jiwanya dan hartanya dalam peperangan).” (HR. At-Tirmidzi no. 757 dan selainnya, dishaihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: “al-‘amalu ash-shaalih” mencakup shalat, puasa, sedekah, dzikir, takbir, membaca al-Qur’an, birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua), silaturahim, berbuat baik kepada makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan selainnya.
Di bulan Dzulhijjah ini dilaksanakan satu ibadah akbar yang merupakan rukun kelima dari agama kita yang mulia, yakni ibadah haji ke Baitullah. Di sana, di tanah suci, di sisi Baitul ‘Atiq dan di tempat-tempat syiar haji lainnya, jutaan kaum muslimin dan muslimah berkumpul dari segala penjuru dnia dengan satu tujuan, mengagungkan syiar Allah Subhanahu wa Ta’ala, memenuhi panggilan-Nya:
“Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi penggilan-Mu tidak aa sekutu bagi-Mu, aku penuhi penggilan-Mu, sesungguhnya segala pujian, kenikmatan, dan kerajaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Ketika tamu-tamu Allah ‘Azza wa Jalla sedang wuquf di arafah, kita yang tidak berhaji disunnahkan untuk puasa di hari tersebut (tanggal 9 Dzulhijjah). Puasa hari Arafah ini dinyatakan sebagai puasa sunnah yang paling utama (afdhal) menurut kesepakatan ulama. (Taudhihul Ahkam, 3/530)
Dalam pelaksanaan puasa di hari ini ada keutamaan besar yang dijanjikan sebagaimana berita dari Abu Qotadah Radliallahu ‘anhu, Ia berkata yang artinya:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari Arafah? Beliau bersabda: “Puasa Arafah (keutamaannya) akan menghapus dosav di tahun yang telah lewat dan tahun yang tersisa (mendatang).’ (HR. Muslim no. 2739)
Penghapusan dosa di tahun mendatang maksudnya adalah seseorang itu diberi taufik untuk tidak melakukan perbuatan dosa, atau bila ia jatuh dalam perbuatan dosa, ia diberi taufik untuk melakukan perkara-perkara yang dengannya akan menghapuskan dosanya. (Subulus Salam, 2/265)
Keesokan harinya, tanggal 10 Dzulhijjah, ada lagi kegembiraan yang bisa kita rasakan sebagai anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rahmat-Nya. Yaitu datangnya hari raya haji yang dikenal dengan Idul Adhha, yang di dalamnya ada ibadah penyembelihan hewan kurban. Gema takbir, tahlil dan tahmid yang telah dikumandangkan sejak fakar hari Arafah terus terdengar pada hari berbahagia ini sampai akhir hari Tasyriq.
“Allah maha Besar Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang benar kecuali hanya Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar, dan segala puji hanya milik Allah.”
Demikianlah wahai saudariku. Bulan-bulan yang kita lewati dalam hidup kita sebenar-benarnya senantiasa menjanjikan kebaikan dan pahala, asalkan kita memang berniat mendulangnya sebagai bekal untuk menuju pertemuan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat kelak.
Wallahu Ta’ala A’lam bish-Shawab.