Menyambut Tahun Baru

MENYAMBUT TAHUN BARU ISLAM (Hijriah)

Asslm.wr.wb

Ma’a syiral muslimin wal muslimat rahimmakumullah,

Satu Muharam atau tahun baru Hijriah ditandai dengan pindahnya Nabi Muhammad SAW dari Makah ke Madinah 14 abad silam. Di samping itu, setiap menyambut datangnya tahun baru Hijriah selalu didahului oleh dua peristiwa penting dalam Islam, yaitu:

  • Idul Fitri, 1 Syawal sebagai akhir puasa.
  • Idul Adha, 10 Zulhijah puncak pelaksanaan ibadah haji.

Baik Idul Fitri maupun Idul Adha kalau diamati lebih dalam memiliki makna dan hubungan yang erat dengan satu Muharam, datangnya tahun baru Islam.

Seseorang yang akan pindah, selayaknyalah dia mempersiapkan bekal. Pindah untuk menuju satu tahun ke depan, tentu dia dituntut lebih siap lagi. Bekal yang diwajibkan Allah untuk persiapan satu tahun adalah ibadah puasa dan haji. Ibadah puasa bertujuan agar kita mampu mengendalikan hawa nafsu, sedangkan ibadah haji untuk melawan dan menundukkan godaan syaitan yang terkutuk.

Puasa memang dikhususkan untuk mengendalikan hawa nafsu. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadist,

”Pada bulan puasa syatan-syaitan diikat, sedangkan pintu-pintu Surga dibuka.” (H.R. Bukhari).

Allah mengikat syaitan selama bulan puasa agar seseorang memusatkan dirinya mengendalikan hawa nafsu yang berasal dari dalam dirinya, yaitu nafsu perut dan seks. Apabila masih terjadi kemaksiatan dimana-mana di bulan suci Ramadhan, berarti manusia-manusia itu sendiri tabiatnya sudah sama dengan syaitan,  karena disebutkan dalam surat An-Naas [114]: ayat 6, bahwa syaitan itu terdiri dari 2 golongan, golongan jin dan golongan manusia.

Setelah selesai mengendalikan hawa nafsu, diharapkan kita semua “lulus” dihari yang fitri (1 syawal) menjadi insan yang ber “taqwa” , kita kemudian dituntut untuk menghadapi dan bahkan melenyapkan musuh yang berasal dari luar, yaitu godaan syaitan. Kendati godaan syaitan dan nafsu sama-sama tidak tampak, keduanya berbeda dalam cara dan tujuan.

Syaitan tidak puas hanya dengan satu cara. Kalau gagal dengan satu cara, dia mencari jalan lain agar berhasil. Dan kalau sudah berhasil, dia berusaha agar hasil godaan itu semakin maksimal, syaitan tidak akan puas sebelum berhasil menyesatkan umat Mumammad sebanyak-banyaknya untuk masuk ke Neraka.

Berbeda halnya dengan nafsu. Jika sudah terpenuhi nafsunya, maka sang nafsu tidak menuntut yang lebih besar lagi. Misalkan seseorang yang mempunya nafsu makan karena lapar, dia hanya membutuhkan sepiring nasi untuk memenuhi nafsunya dan ketika seseorang bernafsu untuk mendapatkan suatu jabatan, akan merasa puas kalau jabatan itu sudah terpenuhi, dan seterusnya.

Cara untuk melawan godaan syaitan tidak dengan berpuasa, tetapi yang paling afdol dengan ibadah haji. Salah satu wajib haji adalah melempar jumrah di Mina yang melambangkan mengusir & melawan syaitan. Syaitan berada di luar diri kita. Karena itu, kita perlu mempersiapkan senjata untuk melawannya, yaitu batu. Dalam puasa, kita dituntut untuk mengendalikan hawa nafsu bukan melenyapkannya. Tapi, pada saat haji, kita dituntut untuk mengalahkan syaitan dan sekaligus melenyapkannya. Mengendalikan hawa nafsu diwajibkan setiap tahun, sedangkan memerangi syaitan hanya sekali seumur hidup dengan ibadah “haji”.

Setelah keduanya dapat ditaklukkan, berarti kita sudah siap hijrah ke tahun berikutnya. Dengan demikian, ketika menyambut tahun baru 1 Muharam, kita memulai kegiatan dengan bekal yang matang, program yang jelas, dan penuh dengan rasa percaya diri…dengan “hati yang bersih”

Sungguh Allah SWT telah mengatur urutan-urutan itu, yakni mulai dari perintah puasa dan Idul Fitrinya, kemudian Haji dan Idul Adha dengan menyembelih hewan qurban, akhirnya menyambut tahun baru Hijrah dalam puncak ke “taqwa”an.. Kondisi puncak ketaqwaan inilah yang harus kita pertahankan sejak memasuki tahun baru Hijriyah hingga 11 bulan kedepan sampai ketemu bulan suci Ramadhan lagi… Kondisi seperti ini…berulang-ulang sepanjang tahun, menjadi hamba Allah yang bertaqwa ini terus-menerus kita pertahankan hingga ajal menjemput kita.. insya Allah kalau bisa seperti ini… kita dimatikan Allah SWT dalam keadaan khusnul khatimah (akhir yang baik), amin.

SEMANGAT BERHIJRAH

Bulan Muharram bagi umat Islam dipahami sebagai bulan Hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yang sebelumnya bernama “Yastrib”. Sebenarnya  kejadian hijrah Rasulullah tersebut terjadi pada malam tanggal 27 Shafar dan sampai di Yastrib (Madinah) pada tanggal 12 Rabiul awal. Adapun pemahaman bulan Muharram sebagai bulan Hijrah Nabi, karena bulan Muharram adalah bulan yang pertama dalam kalender Qamariyah yang oleh Umar bin Khattab, yang ketika itu beliau sebagai khalifah kedua sesudah Abu Bakar, dijadikan titik awal mula kalender bagi umat Islam dengan diberi nama Tahun Hijriah.

Memang kita bisa merasakan bedanya peristiwa penyambutan tahun baru Masehi dan tahun baru Islam (Hijriah). Tahun baru Islam disambut biasa-biasa saja, jauh dari suasana meriah, tidak seperti tahun baru Masehi yang disambut meriah termasuk oleh masyarakat muslim sendiri. Sebagai titik awal perkembangan Islam, seharusnya umat Islam menyambut tahun baru Islam ini dengan semarak, penuh  kesadaran sambil introspeksi, merenungkan apa yang telah dilakukan dalam kurun waktu setahun yang telah berlalu.

Tapi ada satu kelebihan yang masih banyak dilakukan di beberapa pondok pesantren dan beberapa pengajian majelis ta’lim dalam memperingati tahun baru Islam (Hijriah), yaitu pada penghayatan makna peringatan itu sendiri untuk bisa dijadikan sebagai sarana instrospeksi diri. Sebaliknya, di awal tahun baru Masehi, pada umumnya yang ditonjolkan hanya aspek yang berkaitan dengan duniawi, kulit luarnya saja.

Banyak manusia yang terlena oleh momen pergantian tahun. Waktu penting yang seharusnya dijadikan sarana instrospeksi diri, malah telah disalahgunakan sebagai sikap melampaui batas, berhura-hura semalam suntuk hingga terbit matahari…bukannya untuk mendekatkan diri…memohon ampun kepada Allah SWT, tapi malah sebaliknya, mengatas namakan kegembiraan, mereka melupakan nikmat Allah dengan menggelar kemungkaran dan sikap-sikap yang membawa kehancuran dan amarah Allah… naudzubillahimindaliq.

Dalam bahasa Arab, hijrah bisa diartikan sebagai pindah atau migrasi. Tafsiran hijrah disini diartikan sebagai awal perhitungan kalender Hijriyah, sehingga setiap tanggal 1 Muharam ditetapkan sebagi hari besar Islam. Memang, sejak hijrahnya Rasulullah ke Yatsrib, sebuah kota subur, terletak 400 kilometer dari Makkah, Islam lebih memfokuskan pada pembentukan masyarakat muslim yang tidak kampungan dibawah pimpinan Rasulullah.

Itulah sebabnya kota Yastrib dirubah namanya menjadi Al-Madinah yang artinya kota” atau lebih tenar lagi disebut kota Rasulullah. Inilah satu nilai yang sangat penting kenapa hijrah dijadikan sebagai titik awal terbitnya fajar baru peradaban umat Islam. Terbitnya fajar baru ini berkat hijrah. Maka hijrah dengan demikian selalu membuat perubahan. Hijrah merupakan usaha dan semangat besar manusia yang ingin merubah masyarakat yang beku  menjadi manusia yang maju, sempurna dan bersemangat.

Jadi inti dari peringatan tahun baru Hijriah adalah pada soal perubahan, maka ada baiknya momen pergantian tahun ini kita jadikan sebagai saat saat untuk merubah menjadi lebih baik. Itulah fungsi peringatan tahun baru Islam.

Ada 3 pesan perubahan dalam menyambut tahun baru Hijriah ini, yaitu:

  1. Hindari kebiasaan-kebiasaan lama / hal-hal yang tidak bermanfaat pada tahun yang lalu untuk tidak diulangi lagi di tahun  baru ini.
  2. Lakukan amalan-amalan kecil secara istiqamah, dimulai sejak tahun baru ini yang nilai pahalanya luar biasa dimata Allah SWT, seperti membiasakan shalat dhuha 2 raka’at, suka sedekah kepada fakir miskin, menyantuni anak-anak yatim, dll.
  3. Usahakan dengan niat yang ikhlas karena Allah agar tahun baru ini jauh lebih baik dari tahun kemarin dan membawa banyak manfaat bagi keluarga maupun masyarakat muslim lainnya.

Berbicara tentang perkembangan Islam, tentu tidak bisa lepas dari peristiwa hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Dakwah Nabi di Makkah pada saat itu banyak mengalami rintangan berupa tantangan dan ancaman dari kaum musyrikin dan kafir Quraisy. Selama kurun waktu 12 tahun sejak Nabi diutus, dakwah Rasulullah tidak mendapat sambutan menggembirakan, bahkan sebaliknya banyak menghadapi terror, pelecehan, hinaan, dan ancaman dari kaum musyrikin dan kafir Quraisy yang dikomandani oleh papan Nabi sendiri, yaitu Abu Lahab.

Karena itu, Rasulullah diperintahkan Allah SWT untuk pindah (hijrah). Akhirnya, beliau meninggalkan kota kelahiranya Makkah, berhijrah ke kota Madinah. Di Madinah, Nabi dan para sahabat Muhajirin mendapat sambutan hangat oleh kaum Anshar (penduduk asli Madinah).

Agama Islam pun mengalami perkembangan amat pesat. Dalam kurun waktu relatif singkat, hanya sekitar 8 tahun, suara Islam mulai bergema ke seluruh penjuru alam dan Islam pun berkembang meluas ke seluruh pelosok permukaan bumi. Karena itu tidak mengherankan jika peristiwa hijrah merupakan titik awal bagi perkembangan Islam dan bagi pembentukan masyarakat muslim yang telah dibangun oleh rasulullah.

Menurut para pakar sejarah, masyarakat muslim, kaum Muhajirin dan Anshar, yang dibangun Rasulullah SAW di Madinah merupakan contoh masyarakat ideal yang patut ditiru, penuh kasih sayang, saling bahu-membahu dan lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan peribadi. Karena itu, tidak mengherankan jika Khalifah Umar bin Khattab menjadikan peristiwa hijrah sebagai awal perhitungan tahun baru Islam, yang kemudian dikenal dengan tahun baru Hijriah,

Allah berfirman,

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu” (Al-Hujurat [49]: ayat 13)

Umat manusia kadang-kadang terjebak kepada sesuatu yang bersifat jangka pendek, dan melupakan sesuatu yang bersifat jangka panjang. Manusia sering tergesa-gesa dan ingin cepat berhasil apa yang diinginkannya, sehingga tidak sedikit yang menempuh jalan pintas. Islam menekankan bahwa hidup ini adalah perjuangan dan dalam berjuang pasti banyak tantangan dan rintangan.

Bagi kita umat Islam di Indonesia, sudah tidak relevan lagi berhijrah berbondong-bondong seperti jijrahnya rasul, mengingat kita sudah bertempat tinggal di negeri yang aman, di negeri yang dijamin kebebasannya untuk beragama, namun kita wajib untuk hijrah dalam makna “hijratun nafsiah” dan “hijratul amaliyah” yaitu perpindahan secara spiritual dan intelektual, perpindahan dari kekufuran kepada keimanan, dengan meningkatkan semangat dan kesungguhan dalam beribadah, perpindahan dari kebodohan kepada peningkatan ilmu, dengan mendatangi majelis-majelis ta’lim, perpindahan dari kemiskinan kepada kecukupan secara ekonomi, dengan kerja keras dan tawakal.

Pendek kata niat yang kuat untuk menegakkan keadilan, kebenaran dan kesejahteraan umat sehingga terwujud “rahmatal lil alamin” adalah tugas suci bagi umat Islam, baik secara indifidual maupun secara kelompok. Tegaknya Islam dibumi nusantara ini sangat tergantung kepada ada tidaknya semangat hijrah tersebut  dari umat Islam itu sendiri.

Semoga dalam memasuki tahun baru Hijriah yakni tahun 1431 Hijriyah ini, semangat hijrah Rasulullah SAW, tetap mengilhami jiwa kita menuju kepada keadaan yang lebih baik dalam segala bidang, sehingga predikat yang buruk yang selama ini dialamatkan kepada umat Islam akan hilang dengan sendirinya, dan pada gilirannya kita diakui sebagai  umat yang terbaik, baik agamanya, baik kepribadiannya, baik moralnya, tinggi intelektualnya dan terpuji, amin.

Wabillahit-taufiq wal hidayah

Wasslm.wr.wb

Ghoen setyabudi, pengasuh pondok Yatim, jl. Beliton 28A, Madiun