Melawan Sifat Materialisme


Dalam sebuah hasil penelitian terbaru yang dirilis oleh Prof Aric Rindfleisch dari Illinois State University AS, terungkap bahwa sifat materialisme atau terlalu berlebihan dalam mencintai harta, akan memberikan sejumlah efek negatif. Ia mengatakan bahwa ada dua dampak buruk materialisme. Pertama, memperburuk kesejahteraan individu. Kedua, memperparah efek trauma dan stres terhadap kejadian buruk.

Yang menarik dari riset tersebut adalah pada temuan atau kesimpulan kedua. Rindfleisch menyatakan bahwa orang-orang yang materialistis, ketika berhadapan dengan persoalan kehidupan yang parah, seperti ketidaksesuaian antara rencana dengan hasil yang didapat, maka mereka akan cenderung lebih sulit menerima kenyataan dan mudah stres. Kondisi ini mengakibatkan orang tersebut untuk melakukan “maladaptive consumption”, yaitu ketidakrasionalan pola konsumsi. Misalnya, dengan membeli barang yang tidak perlu atau tidak dibutuhkan olehnya, maupun mengkonsumsi barang dan jasa yang mengancam kehidupannya. Kesabaran terhadap tekanan hidup menjadi berkurang, dan ia akan memiliki kecenderungan untuk menjadi paranoid, terutama terhadap kematian. Rasa takut akan mati sangat menghantuinya.

Dengan kata lain, perilaku materialisme akan menyebabkan ketidaktenangan hidup. Orang akan lebih mudah gelisah dan resah. Sehingga, pada jangka panjang, kondisi ini akan mengancam tingkat produktivitas seseorang, yang pada akhirnya berpotensi menurunkan tingkat produktivitas suatu bangsa secara keseluruhan. Jika ini terjadi, maka tingkat kemakmuran akan mengalami penurunan.

Dari hasil studi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa ada dua solusi yang harus dikembangkan, untuk mengatasi problem materialisme dan dampak buruk yang ditimbulkannya. Pertama, peningkatan kualitas pengendalian diri, terutama terkait dengan konsumsi pribadi. Kedua, mendorong semangat berbagi, sebagai antitesa dari sifat serakah terhadap harta.

Terkait poin yang pertama, harus disadari bahwa sumber utama penyakit materialisme adalah ketidakmampuan diri untuk mengendalikan hawa nafsu dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Untuk itu, jiwa harus dilatih agar memiliki kemampuan pengendalian diri yang baik. Salah satunya adalah melalui momentum ibadah puasa di bulan suci Ramadhan.

Imam Al Ghazali mengatakan bahwa tingkat puasa seseorang itu dibagi menjadi tiga, yaitu puasa awam, puasa khusus, dan puasa yang sangat khusus. Pada puasa awam, seseorang hanya mampu menahan diri dari lapar dan haus semata, serta belum mampu mengendalikan diri dari syahwat yang lain. Sedangkan pada puasa jenis kedua, seseorang sudah mampu mengendalikan hawa nafsu yang lain, selain makan dan minum. Misalnya, mengendalikan nafsu amarah yang berlebihan. Sementara pada tingkatan ketiga, kualitas puasa seseorang sudah mampu menghantarkannya pada kebersihan nurani dan hati, sehingga tidak sedikitpun terlintas dalam benaknya keinginan untuk bermaksiat dan berbuat keburukan. Jadi memikirkan hal negatif saja tidak, apalagi melakukannya. Berbeda dengan puasa level kedua dimana pada diri seseorang masih mungkin terlintas hal-hal negatif, meski kemudian mampu dicegahnya.

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa puasa pada dasarnya adalah instrumen untuk mengendalikan diri, termasuk pengendalian terhadap konsumsi berlebihan. Ini adalah antitesa dari teori konsumsi konvensional yang berorientasi sepenuhnya pada pencapaian tingkat kepuasan maksimum, dimana kondisi ini bisa dicapai melalui konsumsi barang dan jasa secara maksimal dengan faktor pembatasnya adalah anggaran keuangan yang dimiliki.

Selanjutnya, solusi kedua adalah dengan mendorong semangat berbagi, melalui pelaksanaan ibadah zakatinfak dan shadaqah(ZIS). Ibadah ZIS adalah metode yang efektif dalam mengikis keserakahan. Melalui ibadah ini, seseorang diajarkan untuk tidak mencintai harta secara berlebihan, karena hakekat hidup pada dasarnya adalah untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi umat manusia. Ibadah ZIS juga merupakan instrumen “alami” yang diciptakan ajaran Islam untuk mencegah konsentrasi kekayaan di tangan segelintir kelompok, dan mendorong tumbuhnya solidaritas sosial yang kuat. Jika kesenjangan ekstrim bisa dicegah, dan solidaritas sosial dapat diperkuat, maka ketenteraman dan ketertiban dalam kehidupan sosial masyarakat bisa menjadi kenyataan.

Wallahu a’lam.

Irfan Syauqi Beik
Staf Ahli BAZNAS