Zakat dan Pajak, Dapatkah Disatukan?

Menilik sejarah pada zaman Nabi dan khalifah sesudahnya, zakat merupakan satu-satunya sistem perpajakan bagi umat Islam di luar kharaj yakni pajak atas tanah. Sekarang umat Islam berada pada abad 21 dengan situasi dan kondisi yang sangat berbeda dari masa lalu. Kita hidup di dunia modern dengan sistem perpajakan yang persentasenya lebih tinggi dari persentase zakat.

Dalam kaitan ini, pertanyaan yang sering muncul, apakah masih wajib zakat atas harta yang telah kena pajak, apakah boleh membayar pajak dengan niat zakat, dan sederet pertanyaan lainnya.

Setahu saya isu ini telah ada sejak lama dan dibahas dalam Seminar Nasional tentang Zakat dan Pajak yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 2 – 4 Maret 1990 di Jakarta. Menteri Agama waktu itu H. Munawir Sjadzali, MA mengingatkan tentang perlunya pemikiran yang dinamis mengenai pelaksanaan zakat. Bapak Munawir Sjadzali yang pada pertengahan dekade delapan puluhan menawarkan gagasan reaktualisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam mengatakan bahwa zakat tentu masih wajib hukumnya setelah ada pajak.

Dalam seminar itu ahli fiqih terkemuka Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML selaku Ketua Komisi Fatwa MUI menyampaikan paparan yang cukup komprehensif. Ibrahim Hosen merujuk pendapat mayoritas ulama bahwa zakat dan pajak di dalam Islam adalah wajib guna menghimpun dana yang diperlukan untuk kesejahteraan dan kemaslahatan umat. Perbedaannya hanya dari segi penetapan hukumnya. Zakat penetapan hukumnya berdasar agama (syar’i) melalui ayat Al Quran dan Hadis Nabi, sedangkan pajak kewajibannya berdasar penetapan atau ijtihad ulil amri (pemerintah). Pendapat mayoritas ulama menyatakan kedua-duanya wajib ditunaikan. Kewajiban yang satu tidak menggugurkan kewajiban yang lain.

Ketua Umum MUI waktu itu K.H. Hasan Basri menegaskan, “Zakat mempunyai kekhususan, yakni dari umat Islam, oleh umat Islam dan untuk umat Islam. Lain halnya dengan pajak. Pajak mempunyai ruang lingkup dan jangkauan yang lebih luas, baik sumber maupun pemanfaatannya. Pendapat sebagian besar ulama menyatakan bahwa zakat tidak bisa dipajakkan, begitu pula pajak tidak bisa dizakatkan.”

Bagaimana di negara lain? Dewan Penelitian Keislaman Universitas Al-Azhar Cairo Mesir memfatwakan bahwa pajak untuk kepentingan negara tidak dapat menggantikan pembayaran zakat yang wajib hukumnya dalam Islam. Pendapat senada dikeluarkan oleh Kementerian Urusan Keislaman, Wakaf, Dakwah dan Penyuluhan Kerajaan Saudi Arabia. Di Arab Saudi pembayaran pajak tidak bisa dijadikan sebagai pembayaran zakat. Pajak tidak boleh dipotong dari volume zakat yang wajib dibayar, tetapi dari total jumlah harta yang terkena kewajiban zakat.

Keberhasilan zakat dan pajak tergantung dari pengelolaannya, tetapi dari segi hukum dan implementasinya harus tetap dipisah. Menurut Ketua Umum BAZNAS Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin, beberapa perbedaan pokok antara zakat dan pajak menyebabkan keduanya tidak mungkin secara mutlak dianggap sama, meski dalam beberapa hal terdapat persamaan. Perbedaan yang mendasar, antara lain: Pertama, dari segi nama, secara etimologis zakat berarti bersih, suci, berkah, tumbuh, maslahat dan berkembang. Kedua, dari segi dasar hukum dan sifat kewajiban, zakat ditetapkan berdasarkan nash-nash Al Quran dan Hadis yang bersifat qath’i, sehingga bersifat mutlak atau absolut sepanjang masa. Kewajiban zakat tidak dapat dihapuskan oleh siapapun. Sedangkan pajak keberadaannya sangat tergantung dari kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam undang-undang. Ketiga, dari sisi obyek dan persentase serta pemanfaatannya, zakat memiliki nishab (kadar minimal) dan persentase baku berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam berbagai Hadis Nabi. Sedangkan pungutan pajak tergantung pada jenis, sifat dan cirinya. Zakatharus digunakan untuk kepentingan mustahik yakni 8 asnaf, sedangkan pajak dapat digunakan untuk membiayai seluruh sektor kehidupan negara, sekalipun dianggap tidak berkaitan dengan ajaran agama.

Guru Besar IAIN (sekarang UIN) Sunan Ampel Surabaya Prof. KH Sjechul Hadi Permono semasa hidupnya pernah persamaan dan perbedaan antara pendayagunaan pajak dan pendayagunaan zakat. Semua bidang dan sektor pembangunan yang dibiayai dari dana zakat, kecuali: (1) untuk agama non-Islam, (2) untuk aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (3) yang tidak mengandung taqarrub (kebajikan, kebaikan) menurut Islam, dan (4) yang berbau maksiat dan/atau syirik menurut pandangan ajaran Islam.

Sjechul Hadi Permono menyoroti perbedaan pendayagunaan zakat dan pajak pada empat pengecualian tersebut, tidak dapat dibiayai dari dana zakat (sekalipun dapat dibiayai dari dana pajak) karena bertentangan dengan arti ibadah zakat itu sendiri. Banyak bidang yang dapat dibiayai dari dana zakat, namun tidak dibiayai dari pajak, seperti muallaf, riqab dan gharim.

Yang pernah diusulkan oleh BAZNAS kepada Dirjen Pajak ialah “zakat sebagai kredit pajak”, artinya bukan hanya pengurang penghasilan bruto (penghasilan kena pajak). Seandainya zakat berlaku sebagai pengurang pajak, hampir dapat dipastikan berdampak positif terhadap transparansi data wajib zakat dan wajib pajak.

Pemerintah telah melakukan langkah-langkah dan upaya mendorong pemberdayaan potensi zakat melalui penyempurnaan regulasi dan penguatan infrastruktur lembaga pengelola zakat yang memiliki kekuatan hukum formal. Oleh karena itu pengembangan sistem pelayanan zakat dan pajak yang efektif seyogyanya menjadi prioritas ke depan. Dalam kenyataan, banyak celah orang tidak membayar zakat kepada lembaga yang resmi, tetapi sulit menghindar dari kewajiban pajak karena sistem pajak yang sudah sedemikian canggih (sophisticated). Saya kira tidak perlu ditunggu “revolusi” zakat karena ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Besar Muhammad SAW lebih dari empat belas abad yang lalu adalah suatu ajaran yang sangat revolusioner.

Wallahu a’lam bisshawab.

Oleh M. Fuad Nasar
Wakil Sekretaris BAZNAS

http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/zakat-dan-pajak-dapatkah-disatukan/