Manfaat, Sumber, dan Hukum Fidyah dalam Perspektif Ekonomi Islam

Fidyah, dalam konteks ekonomi Islam, memiliki implikasi yang mendalam terhadap keseimbangan sosial, distribusi kekayaan, dan solidaritas antaranggota masyarakat. Dalam kajian ekonomi Islam, fidyah memainkan peran penting dalam memastikan keadilan ekonomi serta memberikan solusi bagi masalah ketidakmampuan individu untuk menjalankan kewajiban agama mereka.

Manfaat Fidyah dalam Perspektif Ekonomi Islam:
Dalam perspektif ekonomi Islam, fidyah memberikan manfaat ganda.

Pertama, fidyah menciptakan distribusi kekayaan yang lebih merata dalam masyarakat. Orang-orang yang tidak mampu berpuasa dapat menerima fidyah sebagai bentuk bantuan ekonomi, yang kemudian dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka dan keluarga. Ini membantu mengurangi kesenjangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan di antara anggota masyarakat.

Kedua, fidyah juga memperkuat solidaritas sosial dan kepedulian antaranggota masyarakat. Melalui pembayaran fidyah, individu yang mampu dapat memberikan kontribusi langsung dalam membantu mereka yang membutuhkan. Hal ini menciptakan ikatan sosial yang kuat dan meningkatkan rasa saling peduli dalam sesama Muslim.

Sumber Fidyah dalam Perspektif Ekonomi Islam:
Sumber fidyah dalam perspektif ekonomi Islam meliputi berbagai jenis aset yang dapat digunakan untuk membayar fidyah. Tradisionalnya, fidyah diberikan dalam bentuk makanan yang setara dengan satu hari puasa untuk setiap hari yang tidak dijalankan. Namun, dalam konteks modern, uang dan barang-barang kebutuhan sehari-hari juga dapat dijadikan sebagai sumber fidyah.

Dalam sudut pandang ekonomi Islam, penting untuk memastikan bahwa sumber fidyah dipilih dengan memperhatikan prinsip-prinsip syariah yang melarang riba dan transaksi yang tidak adil. Oleh karena itu, sumber fidyah haruslah berasal dari aset yang halal dan tidak melanggar prinsip-prinsip ekonomi Islam.

Hukum Fidyah dalam Perspektif Ekonomi Islam:
Hukum fidyah dalam ekonomi Islam didasarkan pada prinsip keadilan dan kemanusiaan. Fidyah diwajibkan bagi mereka yang tidak mampu berpuasa karena alasan tertentu, seperti sakit atau perjalanan yang tidak dapat dihindari. Dengan membayar fidyah, individu yang tidak mampu tetap dapat merasakan manfaat spiritual dari ibadah puasa, sementara juga memberikan kontribusi positif bagi masyarakat melalui redistribusi kekayaan.

Sebagaimana Firman Allah SWT:

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Ayat 184 menjelaskan bahwa puasa wajib dilakukan selama bulan Ramadhan, mengikuti jumlah hari bulan tersebut. Nabi Muhammad selalu berpuasa selama 29 hari, kecuali pada satu kesempatan di mana Ramadhan berjumlah 30 hari. Meskipun Allah memerintahkan puasa bagi semua orang yang beriman, ada keringanan bagi yang sakit dan musafir. Para ulama menyatakan:

  1. Tidak berpuasa diperbolehkan bagi yang sakit atau musafir tanpa mempertimbangkan tingkat keparahan atau jarak perjalanan.
  2. Diperbolehkan bagi yang sakit yang merasa kesulitan berpuasa, sesuai dengan rasa tanggung jawab dan keimanan masing-masing.
  3. Diperbolehkan bagi yang sakit atau musafir dengan syarat kondisi yang mempengaruhi kesehatan atau jarak perjalanan minimal 16 farsakh.
  4. Tidak ada perbedaan antara perjalanan musafir, asalkan bukan untuk maksiat. Ayat 184 menyatakan bahwa bagi yang merasa sulit berpuasa, bisa membayar fidyah. Termasuk yang sulit berpuasa adalah:
    a. Orang tua yang tidak mampu berpuasa, bila tidak berpuasa diganti dengan fidyah.
    b. Wanita hamil atau menyusui khawatir kesehatan janin/bayinya, harus mengqada puasa dan membayar fidyah menurut Syafi’i dan Ahmad.
    c. Orang sakit yang tidak mampu berpuasa, hanya membayar fidyah.
    d. Buruh dan petani yang hidup dari hasil kerja keras dapat berbuka jika mengalami kesulitan. Akhir ayat 184 menekankan bahwa membayar fidyah lebih dari yang ditentukan atau memberi makan lebih dari satu miskin adalah perbuatan baik. Allah menekankan bahwa berpuasa lebih baik daripada tidak.

Oleh karena itu, konsep dalam menentukan jumlah fidyah yang harus dibayar, prinsip keadilan ekonomi Islam harus dipertimbangkan. Jumlah fidyah harus cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yang membutuhkan, namun tidak boleh memberatkan secara finansial bagi yang memberikan. Hal ini untuk memastikan bahwa prinsip saling membantu dan keadilan ekonomi Islam tetap terjaga.

Melalui pemahaman yang mendalam tentang manfaat, sumber, dan hukum fidyah dalam perspektif ekonomi Islam, umat Muslim dapat memastikan bahwa kewajiban agama mereka dipenuhi dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam yang adil dari segi ekonomi dan kemanusiaan.

Penulis: Syafia Lu

#BaznasKotaYogyakartahttps://kotayogya.baznas.go.id/bayarzakat

Sumber:

  1. QS. Al-Baqarah : 184
  2. Tafsir Tahlili diakses secara online melalui https://quran.nu.or.id/al-baqarah/184
  3. Suyanto, B. (2018). “Fidyah dalam Perspektif Ekonomi Islam: Analisis Terhadap Distribusi Kekayaan dan Solidaritas Sosial.” Jurnal Ekonomi Islam, 6(2), 78-92.
  4. Huda, N. (2019). “Implementasi Prinsip Ekonomi Islam dalam Pembayaran Fidyah.” Jurnal Ekonomi dan Keuangan Islam, 4(1), 54-67.
  5. Aziz, A. (2017). “Fidyah: Tinjauan Hukum Ekonomi Islam.” Jurnal Hukum Ekonomi Islam, 2(2), 112-125.