Membatalkan Puasa Tanpa Uzur dengan Sengaja: Apakah Kena Kafarat?

Puasa Ramadhan adalah salah satu rukun Islam yang memiliki kedudukan agung dalam syariat. Ibadah ini diwajibkan bagi setiap Muslim yang telah baligh, berakal, sehat, serta tidak memiliki halangan syar'i. Allah SWT menegaskan kewajiban puasa dalam firman-Nya:

"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)

Namun, dalam praktiknya, terdapat sebagian orang yang sengaja membatalkan puasa tanpa alasan yang dibenarkan syariat, seperti makan, minum, atau melakukan hal-hal yang membatalkan puasa secara sadar dan tanpa uzur. Timbul pertanyaan, apakah orang tersebut dikenai kafarat sebagaimana halnya orang yang membatalkan puasa dengan berhubungan suami istri?

Artikel ini akan membahas persoalan tersebut dengan rinci, berdasarkan dalil-dalil syar’i dan pendapat para ulama.

 

Pengertian Kafarat

Secara bahasa, kafarat berarti penebus dosa atau denda. Dalam konteks fikih puasa, kafarat adalah konsekuensi syar’i yang dikenakan kepada seseorang yang melakukan pelanggaran tertentu selama bulan Ramadhan, berupa:

1. Memerdekakan budak (tidak berlaku saat ini).

2. Jika tidak mampu, maka berpuasa dua bulan berturut-turut,

3. Jika tidak mampu juga, maka memberi makan 60 orang miskin.

Kafarat ini disebutkan dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

"Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. lalu berkata, ‘Aku telah binasa! Aku menggauli istriku di siang hari Ramadhan.’ Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Merdekakan seorang budak.’ Ia menjawab, ‘Aku tidak mampu.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Kalau begitu, berpuasalah dua bulan berturut-turut.’ Ia berkata, ‘Aku tidak mampu.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Berilah makan 60 orang miskin.’" (HR. Bukhari no. 1936, Muslim no. 1111)

 

Membatalkan Puasa dengan Sengaja Tanpa Uzur

Perbuatan membatalkan puasa dengan sengaja tanpa uzur, seperti:

  1. Makan dan minum dengan sengaja,
  2. Merokok,
  3. Memasukkan sesuatu ke dalam rongga tubuh dengan sengaja,

Semuanya adalah tindakan yang jelas-jelas membatalkan puasa dan termasuk dosa besar, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Dalil keharamannya merujuk kepada kewajiban menjaga puasa dan larangan melanggar aturan Allah:

 "...Maka barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa..." (QS. Al-Baqarah: 185)

Namun, apakah tindakan tersebut mengharuskan kafarat?

 

Pendapat Para Ulama

  1. Mayoritas Ulama (Jumhur)

Mayoritas ulama dari madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa:

Membatalkan puasa dengan makan atau minum secara sengaja hanya mengharuskan QADHA dan TAUBAT, tanpa kafarat. Dalilnya:

Hadis yang sahih tentang kafarat hanya secara eksplisit menyebutkan orang yang berhubungan suami istri di siang hari Ramadhan. Tidak ada riwayat sahih dari Rasulullah saw. yang memerintahkan kafarat bagi orang yang membatalkan puasa karena makan/minum. Menurut mereka, pelanggaran tersebut cukup diobati dengan:

  1. Qadha puasa sebanyak hari yang ditinggalkan,
  2. Bertaubat sungguh-sungguh,
  3. Tidak mengulangi perbuatan tersebut.

 

  1. Madzhab Hanafi

Berbeda dengan jumhur, madzhab Hanafi berpendapat lebih tegas:

Orang yang sengaja membatalkan puasa dengan makan, minum, atau selain hubungan suami istri, tetap wajib kafarat, sebagaimana orang yang menggauli istrinya.

Dalil mereka:

Analogi (qiyas) antara makan/minum dengan hubungan suami istri karena keduanya termasuk tindakan membatalkan puasa secara sengaja dan melanggar kesucian ibadah. Memandang beratnya dosa meninggalkan puasa Ramadhan tanpa alasan, sehingga memerlukan tebusan berat (kafarat) untuk menghapusnya.

 

Perbedaan Dasar Antara Makan/Minum dan Hubungan Suami Istri

Mengapa mayoritas ulama tidak mewajibkan kafarat bagi orang yang makan dan minum dengan sengaja?

  1. Dalil yang Jelas dan Terbatas

Hadis shahih yang memerintahkan kafarat hanya disebutkan dalam konteks hubungan suami istri. Nabi saw. tidak menyinggung makan atau minum dalam hadis tersebut, padahal itu adalah tindakan umum yang bisa saja terjadi. Karena itu, para ulama berhenti pada teks hadis tersebut (ta’abbudi).

  1. Tingkat Pelanggaran

Berhubungan suami istri dianggap pelanggaran berat karena:

Selain membatalkan puasa, juga menyalahi hikmah puasa yang bertujuan menahan syahwat. Rasulullah saw. memberikan hukuman kafarat berat sebagai bentuk ta'zir (pencegahan) agar tidak terjadi peremehan terhadap ibadah puasa. Sedangkan makan/minum, meskipun dosa, tidak setingkat beratnya dalam konteks syariat.

 

Konsekuensi Bagi yang Membatalkan Puasa dengan Sengaja

Meskipun tidak dikenai kafarat menurut mayoritas ulama, tetap saja:

  1. Wajib Mengqadha Puasa

Orang yang membatalkan puasa dengan makan/minum secara sengaja harus mengganti di hari lain sesuai firman Allah:

"...Maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkan itu, pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184-185)

  1. Bertaubat dengan Sungguh-sungguh

Membatalkan puasa tanpa alasan syar'i termasuk dosa besar, sebagaimana disebut dalam hadis:

"Barang siapa berbuka satu hari di bulan Ramadhan tanpa uzur dan tanpa sakit, maka tidak akan cukup baginya untuk mengganti hari itu meskipun ia berpuasa sepanjang tahun." (HR. Abu Dawud, no. 2396; Tirmidzi no. 723, dinilai hasan shahih oleh Tirmidzi.

Ini menunjukkan besarnya dosa membatalkan puasa dengan sengaja.

 

Kesimpulan

Apakah orang yang membatalkan puasa dengan makan atau minum tanpa uzur terkena kafarat?

Menurut mayoritas ulama (Syafi’i, Maliki, Hanbali): Tidak wajib kafarat, cukup QADHA + TAUBAT.

Menurut madzhab Hanafi: Wajib kafarat seperti orang yang berhubungan suami istri.

Meskipun pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur (tidak wajib kafarat), dosa membatalkan puasa Ramadhan tanpa uzur adalah sangat besar. Karena itu, seorang Muslim yang terlanjur melakukannya harus:

  1. Segera bertaubat dengan taubat nasuha.
  2.  Mengqadha puasa yang ditinggalkan sebelum Ramadhan berikutnya.

Penulis : Ibnu

Editor  : Ibnu