60 Fakir Miskin atau 60 Hari Puasa? Memahami Dilema Kafarat Ramadhan

Ramadhan dikenal sebagai bulan penuh ampunan, rahmat, dan berkah. Namun, di balik kemuliaan bulan ini, terdapat aturan-aturan ketat yang mengatur ibadah puasa, salah satunya mengenai pelanggaran serius yang mengharuskan seseorang menunaikan kafarat Ramadhan. Kafarat ini bukan sekadar denda ringan, melainkan sebuah penebusan dosa dengan konsekuensi sosial dan fisik yang tidak mudah.

Dari sekian bentuk kafarat, dua di antaranya paling dikenal: memberi makan 60 fakir miskin atau berpuasa 60 hari berturut-turut. Kedua pilihan ini sering menimbulkan dilema bagi banyak Muslim: mana yang harus dipilih? Apakah ada ketentuan tertentu mengenai urutan atau prioritas? Artikel ini akan membahas secara komprehensif tentang dilema kafarat Ramadhan, dasar hukumnya, serta makna di baliknya.

 

Definisi Kafarat Ramadhan

Secara bahasa, kafarat berasal dari kata kafara yang berarti menutupi atau menghapus. Dalam konteks syariat, kafarat adalah bentuk tebusan yang diwajibkan atas seseorang yang melanggar aturan tertentu sebagai bentuk pertobatan dan kompensasi.

Kafarat Ramadhan secara spesifik berlaku bagi pelanggaran berat di bulan Ramadhan, seperti:

  • Berhubungan intim di siang hari Ramadhan dengan sengaja.
  • Makan atau minum secara sengaja tanpa alasan syar’i (meskipun sebagian ulama berbeda pandangan apakah ini wajib kafarat atau tidak).

 

Dalil dan Landasan Kafarat Ramadhan

Salah satu hadis paling populer yang menjadi dasar kafarat Ramadhan adalah riwayat dari Abu Hurairah:

“Seseorang datang kepada Nabi SAW dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku binasa! Aku telah berhubungan dengan istriku di siang hari bulan Ramadhan.’ Rasulullah menjawab, ‘Apakah kamu mampu memerdekakan budak?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Rasul bertanya lagi, ‘Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Rasul bertanya, ‘Apakah kamu mampu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Maka Rasulullah pun memberinya kurma untuk disedekahkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini jelas menyebutkan tiga bentuk kafarat secara berurutan:

  1. Memerdekakan budak.
  2. Berpuasa dua bulan berturut-turut.
  3. Memberi makan 60 fakir miskin.

Dalam konteks masa kini, memerdekakan budak tidak lagi relevan, sehingga dua opsi terakhir yang menjadi pilihan utama.

 

Urutan atau Pilihan Bebas?

Di sinilah muncul dilema. Apakah seorang pelanggar bebas memilih antara memberi makan 60 fakir miskin atau berpuasa 60 hari? Ataukah ada urutan yang wajib diikuti?

1. Pendapat Mayoritas Ulama

Mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Hambali, dan sebagian Maliki berpendapat bahwa kafarat harus dilaksanakan berurutan (tartib). Artinya:

  • Pilihan pertama: membebaskan budak (sekarang gugur).
  • Jika tidak mampu, maka berpuasa 60 hari berturut-turut.
  • Jika tidak mampu juga, baru memberi makan 60 fakir miskin.

Pandangan ini diambil langsung dari redaksi hadis Nabi yang menyebutkan kafarat secara berurutan.

2. Pendapat Mazhab Hanafi dan Sebagian Maliki

Sebaliknya, ulama mazhab Hanafi memandang bahwa kafarat bersifat takhyir (opsional) setelah opsi memerdekakan budak tidak berlaku. Artinya, seseorang bebas memilih antara puasa 60 hari atau memberi makan fakir miskin tanpa harus mengutamakan salah satunya. Alasannya, saat budak tidak ada, maka opsi selanjutnya tidak harus terikat urutan.

Hikmah di Balik Kafarat

Terlepas dari perbedaan pendapat, penting untuk memahami makna yang terkandung dalam kafarat Ramadhan:

1. Puasa 60 Hari: Bentuk Disiplin dan Tobat Fisik

Berpuasa dua bulan berturut-turut adalah bentuk latihan disiplin luar biasa. Ia mengajarkan kesungguhan dalam menebus kesalahan, menumbuhkan rasa sabar, dan menanamkan rasa tanggung jawab atas dosa yang telah dilakukan. Tidak mudah menahan lapar dan dahaga selama dua bulan penuh tanpa terputus.

2. Memberi Makan 60 Fakir Miskin: Rehabilitasi Sosial

Pilihan memberi makan 60 fakir miskin membawa pesan sosial yang kuat. Kesalahan pribadi harus ditebus dengan kebaikan sosial. Ini menunjukkan bahwa dosa bukan hanya berdampak pada hubungan vertikal dengan Allah, tetapi juga pada hubungan horizontal dengan masyarakat.

 

Dilema Kontemporer: Mana yang Lebih Ringan?

Bagi sebagian orang, memberi makan 60 fakir miskin mungkin terlihat lebih ringan karena bisa dilakukan dalam satu waktu dengan membayar sejumlah uang atau menyediakan makanan. Di zaman modern, ada banyak lembaga zakat dan platform digital yang memudahkan penyaluran kafarat ini.

Namun, bagi yang memegang pendapat bahwa kafarat harus urut, maka ia harus berusaha berpuasa 60 hari terlebih dahulu. Jika karena kondisi fisik, usia, atau faktor lain ia tidak mampu, barulah boleh beralih ke opsi memberi makan.

 

Hitungan Praktis Kafarat: Berapa Biaya Memberi Makan 60 Orang?

Secara teknis, ulama sepakat bahwa ukuran makanan yang diberikan harus setara dengan satu mud atau setengah sha’ (kurang lebih 0,6 kg beras atau makanan pokok per orang). Maka, untuk 60 orang fakir miskin, seorang pelaku pelanggaran harus memberikan makanan kepada seluruhnya, atau memberikan uang senilai makanan tersebut.

Misalnya:

  • Jika biaya satu porsi makanan layak sekitar Rp30.000,
  • Maka total kafarat adalah 60 × Rp30.000 = Rp1.800.000.

Tentu angka ini bisa berbeda tergantung wilayah dan standar harga makanan di masing-masing tempat.

 

Kafarat Ramadhan di Era Digital

Kini, dengan berkembangnya teknologi, kafarat Ramadhan semakin mudah dilaksanakan:

  • Lembaga zakat resmi seperti BAZNAS, Dompet Dhuafa, dan Rumah Zakat menyediakan layanan pembayaran kafarat secara online.
  • Transparansi penyaluran kafarat kepada fakir miskin lebih terjamin.
  • Namun, tetap perlu memastikan lembaga tersebut amanah dan terpercaya agar kafarat sah secara syar’i.

 

Kesimpulan: Kafarat Bukan Sekadar Formalitas

Dilema antara memberi makan 60 fakir miskin atau berpuasa 60 hari sebenarnya bukan sekadar soal "mana lebih mudah". Di balik dua pilihan ini, ada pesan mendalam tentang pertobatan, kedisiplinan, dan kepedulian sosial.

Bagi yang masih mampu secara fisik, puasa 60 hari menjadi jalan untuk melatih keimanan dan menebus kesalahan secara serius. Bagi yang tidak mampu, opsi memberi makan membawa hikmah bahwa setiap kesalahan pribadi harus diimbangi dengan kebaikan kepada orang lain.

Apa pun pilihan kafaratnya, intinya adalah memperbaiki diri dan tidak mengulangi pelanggaran. Ramadhan bukan sekadar bulan ibadah, tapi juga bulan untuk mengasah kesadaran diri, menumbuhkan empati sosial, dan menyempurnakan pertobatan.

Penulis : Ibnu

Editor  : Ibnu